Isra’ adalah perjalanan di malam hari dari Masjid al-Haram (Makkah)
ke Masjid a-Aqsha (Palestina). Sedangkan Mi’roj adalah naik ke langit,
sampai ke langit ang tujuh bakan ke tempat yang paling tinggi yaitu Sidrah al-Muntaha.
Peristiwa luar bisa itu terjadi pada malam senin tanggal 27 Rajab 621
M, satu tahun sebelum Nabi SAW hijrah ke Madinah. Allah berfirman :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلا مِنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ
لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ (الاسرأ ,1)
“Mahasuci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya (Muhammad)
pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidil Aqsayang telah Kami
berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian
tanda-tanda (kekuasaan) kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha
Melihat” (al-Isra’ : 1)
Secara gamblang, ayat ini menyatakan bahwa Allah SWT telah
memberangkatkan hambanya untuk melakukan safari suci, yaitu isra’
mi’raj. Redaksi yang digunakan adalah kata ‘abdih’ (hambanya).
Yang disebut hamba terdiri dari ruh dan jasad. Jasad tanpa ruh dikatakan
mayit dan jasad tanpa ruh tidak bisa dikatakan manusia. Karena yang
diberangkatkan oleh Allah SWT adalah seorang hamba termulia, yaitu Nabi
Muhammad SAW, maka sudah tentu yang melakukan perjalanan itu adalah ruh
sekaligus jasadnya. Hal itu bukan sesuatu yang tidak mungkin. Sangat
mungkin sekali, sebab beliau berangkat tidak dengan kemauannya sendiri,
akan tetapi Allah SWT yang berkehendak. Tidak ada yang mustahil bagi
Allah SWT jika Dia berkehendak.
Ibarat seekor semut yang ‘menumpang’ naik pesawat terbang dari
Jakarta menuju Surabaya, kemudian kembali lagi ke Jakarta. Yang pasti,
kaum semut tidak akan percaya akan cerita si semut yang telah melakukan
perjalanan dalam waktu sesingkat itu. Tapi hal itu sangat mungkin
terjadi, sebab dia memakai kendaraan yang kecepatannya tidak pernah
terbayang oleh kaum semut. Begitu pula dengan isra’ mi’raj Nabi SAW,
peristiwa tersebut tidak akan terbayang oleh akal Manusia, sebab yang
digunakan Nabi SAW adalah kendaraan yag kecepatannya di luar jangkauan
serta tidak pernah terbayangkan oleh akal manusia, yakni Buroq.
Oleh karena itu, mayoritas ulama berpendapat bahwa Nabi Muhammad SAW
melakukan Isra’ Mi’raj dengan ruh dan jasadnya. Imam Nashiruddin Abu
al-Khair ‘Abdullah bin Umar al-Baidhawi mengatakan bahwa:
واختلف في أنّه كان فى المنام أو فى اليقظة بروحه أوجسده, والاكثار على
أنّه أسري بجسده الي بيت المقدس ثم عرج به الى السموات حتّى انتهى الى سدرة
المنتهى. (أنوار التنزيل وأسرار التأويل, 1 ص 576)
“Dan diperselisihkan apakah isra’ dan mi’raj terjadi pada waktu
tidur (sekadar mimpi belaka) ataukah dalam keadaan sadar? Dengan ruh
(saja) atau sekaligus ruh dan jasadnya? Mayoritas ulama berpendapat
bahwa Allah SWT meng-isra’ kan Nabi SAW dengan jasadnya (dari Masjid
al-Haram) ke Bait al-Maqdis kemungkinan menaikkan beliau ke beberapa
langit sampai berhenti di Sidrah al-Muntaha. (Anwar an-Tanzil wa Asrar al-Tanwil, Jus I, hal 576).
Paparan itu menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan isra’
mi’raj dengan jasad dan ruhnya. Sepintas muncul pertanyaan di benak
kita, bisakah hal itu? Pertanyaan ini sejak awal terjadi. Orang-orang
Quraisy Makkah yang mempercayai peristiwa ajaib tersebut hanya Abu Bakar
RA dan beberapa orang yang kokoh imannya yang kangsung mengimaninya dan
bahkan Abu Bakar RA berkata, “Jangankan peristiwa itu, lebih aneh dari
itupun aku percaya, kalau Nabi Muhammad SAW yang mengatakannya”. Itulah
sebabnya beliau diberi gelar al-Siddiq.
Fiqih Trasionalis; Jawaban Pelbagai Persoalan Agama Sehari-hari, 270-272
Tidak ada komentar:
Posting Komentar